Lebih lanjut Fokki menjelaskan, kalau melihat sejarah bahwa raperda tentang legalisasi miras, usaha untuk memasukkan di pembahasan di DPRD Kota Yogyakarta sudah sejak tahun 2009. Dimana waktu itu sebagian anggota Badan Legislatif namanya waktu itu sampai 2019 sangat kencang menolaknya mengingat bahwa notabene Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar sangat tidak elok ada raperda miras dengan alasan apapun termasuk alasan pendapatan.
“Kalau ada alibi bahwa sebagai kota pariwisata harus ada ranperda miras, itu namanya konyol dan mengada-ada karena sudah ada aturan pusat yang mengatur itu, kaitan dengan penjualan miras/mihol,” tuturnya.
“Pertanyaannya, apakah visi misi PAN (Partai Amanat Nasional) berubah sekarang mengingat yang kencang dan ngotot untuk meloloskan ‘legalisasi miras/mihol‘ adalah kadernya yang juga sebagai Ketua Bapemperda, Widodo. Ada apa ini? Apakah ada transaksional dengan investor miras/mihol untuk memasukkan investasinya secara legal di Kota Yogyakarta? Biarlah nanti sejarah yang menilai,” tambahnya.
“Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa saya selaku anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan tidak setuju. Pertama, menghapus Ranperda Pendidikan Pancasila dan Etika dari Propemperda. Dan kedua, menolak legalisasi miras/mihol di Kota Yogyakarta dengan bungkus apa pun judul Raperda nya tandas Fokki yang juga anggota DPRD Kota Yogyakarta Fraksi PDI Perjuangan ini.
Arifin/ed. MN