Sementara itu, masyarakat boleh saja melintas saat masih bernyawa. Namun ketika meninggal, rakyat jelata tidak boleh dibawa melintasi Plengkung Gading.
Penutupan Plengkung Gading ini sebenarnya tidak ada urgensi atau landasan untuk menutup satu-satunya pintu masuk sisi selatan Njeron Beteng ini. Kenapa akses masyarakat ini ditutup? Apakah karena ini wacana kota warisan budaya?
“Zaman HB IX ada slogan beliau Tahta untuk Rakyat, seingat saya. Ndak tahu kalau sekarang tahta untuk UNESCO lewat Sumbu Filosofis,” celetuk salah satu warga kota Jogja(obrolan angkringan).
Ya, memang saat ini kondisi realnya hanya karena sebuah gelar dari UNESCO, Tahta Rakyat benar-benar akan mati.
Ini bukan lagi perkara, “Kan yang punya Jogja itu Sultan.” Ini perkara wacana yang entah apa dasar dan kajiannya. Disempurnakan dengan ide kosmologis yang setengah matang demi memuaskan UNESCO.
Dikutip dari Mojok.co/Ar/Ed. MN