Warga telah menyampaikan keberatan lewat DPRD DIY, forum audiensi, hingga perantara GKR Mangkubumi. Tapi tak satu pun menghasilkan itikad baik untuk meninjau ulang pendekatan ini. Yang berjalan hanyalah alat ukur dan prosedur bukan hati nurani dan kehendak baik mensejahterakan tapi gerakan memiskinkan rakyat.
Proyek beautifikasi ini dirancang membawa nuansa kolonial-meets-modern: revitalisasi bangunan Belanda, restoran, hotel, hingga plaza publik. Tapi di balik janji keindahan itu, proses sosialnya justru timpang, dan karakter penjajah VOC yang menindas rakyat telah mewarnai relasi ini.
Dan ironinya: ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X—pemimpin daerah istimewa ini meminta peninjauan ulang, BUMN seperti PT KAI tetap melaju tanpa mengindahkan suara tersebut.
Kini publik patut bertanya:
Apakah Badan Usaha Milik Negara lebih berkuasa daripada Sultan di Tanah Istimewa? Apakah “prosedur” kini lebih sakral daripada kebijaksanaan lokal?
Hari ini 4 warga dari 5 warga yang masih bertahan setelah 8 warga yang menyerah duluan juga dengan terpaksa menandatangani pernyataan walaupun pasti berbeda narasinya dengan yang 8.
Masih tinggal 1 warga yang masih bertahan dan kami bersama kawan kawan LBH Yogyakarta akan tetap membersamai.
Panjang Umur Perjuangan!!!
Antonius Fokki Ardiyanto
Warga Yogyakarta Bersama Warga Lempuyangan.
Ar/Ed MN