“Sebagai contoh 1, di paket Provinsi DIY, ada pekerjaan perbaikan jalan Provinsi dengan nilai sekian miliar, tiba-tiba di lapangan proyek sudah berjalan, dikerjakan oleh salah satu PT peserta, padahal dalam sistem E-katalog Provinsi, tidak ada tercantum PT tersebut sebagai peserta yang memposting jasa jualannya. Juga PT itu perusahaan menengah (atau malah Besar), kok bisa mengerjakan pekerjaan sauplik (kecil),” lanjut Tri.
Tri juga memberikan contoh ke-2 pada pekerjaan pemeliharaan rutin jalan Provinsi di area Kulon Progo. Hal yang sama, tiba-tiba ada kabar di lapangan bahwa PT. B ditunjuk sebagai pemenang berkontrak. Dan sekarang proyek sudah running.
“Persoalannya juga sama, PT. B ini tidak tercantum dalam sistem E-katalog punya Provinsi sebagai perusahaan yang memposting jualan jasa. Padahal yang posting selain PT itu banyak,” ungkapnya.
Menurutnya, kalau sekarang, sesama rekanan masih bisa melihat harga yang diposting rekanan lain, tapi nantinya (kabar dari Pokja), rekanan lain tidak ada yang bisa melihat harga rekanan lainnya. Hanya PPK yang tahu harga postingan rekanan. Hal tersebut jelas makin menjadikan lelang E-katalog itu benar-benar lelang hantu.
“Realisasi pelaksanaan E-katalognya, calon yang akan dimenangkan oleh PPK, dipanggil. Terus diminta mengisi dengan tata cara yang diinginkan oleh PPK. Termasuk mengisi harga juga. Biasanya konsultasinya beberapa kali.
Kalau sudah dianggap sesuai, baru PPK akan meng-“klik”, jualan jasanya kontraktor itu. Untuk itu hapuskan sistem E-purchasing.Itu legalisasi KKN. Yang dapat, ketawa-ketawa, yang tidak dapat ya gigit jari,” pungkasnya.
Ar/Ed. MN