“Ceritanya begini, setelah putri bunuh diri karena ditolak cintanya oleh Raden Patohan, dan sebelum bunuh diri Ia pesan kepada prajuritnya agar berziarah ke makamnya. Jadi selain santri, masyarakat dan banyak dari Keling yang datang ke lokasi Sendang Bulus yang dekat pesantren Joko Patohan.
Akhirnya terkenal tradisi ketupat (ngaku lepat),” jelasnya.
Mitosnya
Sementara itu untuk mitosnya, terjadinya Bulus Jimbung itu disebabkan penderek Putri Keling, yaitu Kyai Poleng dan Nyai Remeng ikut membela bendoronya (Tuanya/majikannya) yang bunuh diri, dia tidak terima.
“Oleh Raden Patohan mboten reno (tidak apa-apa) hingga disabda (dikutuk) menjadi Bulus (kura-kura) Poleng dan Remeng.
Dan untuk Patih (wakil) Tambak Boyo, Patih Keling yang sedianya mengikuti Putri Keling karena dia mencintainya dan meninggal, dimakamkan di makam Tambak Boyo, Jimbung lor sebelah timur, jika makam Keling, di makam Putri Keling Jimbung lor yang barat.
Untuk abdi setiya Raden Patohan ki Sido Guro mokso (keadaan bebas dari ikatan duniawi, nafsu, dan karma), setelah Raden Patohan pergi kearah utara timur meninggalkan Jimbung,” paparnya.
Seiring berjalannya waktu, ritual pesugihan Bulus Jimbung saat ini sudah tidak ada lagi, hanya satu, dua orang yang melakukan ritual pesugihan tersebut dan itupun sembunyi -sembunyi.
Menurut keterangan warga sekitar, sudah hampir 5 tahun ini sendang Bulus Jimbung sudah beralih fungsi, hanya sebatas untuk taman rekreasi saja.
“Saat ini hanya dimanfaatkan pengunjung sebatas untuk terapi dan pemandian saja,” tutur Saliman saat ditemui LimaSisiNews di lokasi Sendang Bulus Jimbung, Selasa (28/01/2025).
“Terkait makam Putri Keling, yang biasanya di hari-hari tertentu ramai peziarah, sekarang juga sepi tidak kayak dulu lagi,” pungkasnya.
AR