“Terdapat beberapa potensi pelanggaran hukum yang dapat diselidiki lebih lanjut oleh aparat penegak hukum. PT. Merak Jaya Beton patut diduga melanggar Pasal 263 KUHP jika terbukti tidak ada izin material. ULP Kabupaten Bantul juga patut diduga melanggar Pasal 7 ayat 1 Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yaitu ULP bertanggung jawab untuk melaksanakan proses pengadaan barang/jasa sesuai jadwal dan aturan yang berlaku. Jika terbukti ada kelalaian atau penyimpangan dalam proses ini, ULP bisa dikenakan sanksi administratif hingga pidana,” paparnya.
Lebih lanjut Musthafa menjelaskan, PT. Merak Jaya Beton juga patut diduga melanggar Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur bahwa seluruh material yang digunakan dalam proyek konstruksi harus memenuhi standar dan peraturan yang berlaku.
Penggunaan material tidak berizin bisa dianggap melanggar ketentuan ini dan dapat mengakibatkan sanksi administratif, denda, hingga pencabutan izin usaha konstruksi yang berdampak pada hilangnya hak perusahaan untuk beroperasi di sektor tersebut. Juga Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu Penggunaan material yang tidak memenuhi standar juga bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, yang meliputi hak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Pelanggaran ini dapat menyebabkan perusahaan dikenakan sanksi berupa denda atau tuntutan ganti rugi dari pihak yang dirugikan.
“Perihal Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Bantul tidak menayangkan paket tender secara teratur atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku, ada beberapa dampak hukum dan konsekuensi yang dihadapi oleh ULP dan pejabat yang terlibat yaitu Pelanggaran Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur bahwa proses pengadaan harus dilakukan secara terbuka, transparan, adil, dan tepat waktu. Jika ULP tidak menayangkan paket tender secara teratur, ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Kami juga melihat Potensi Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika penundaan atau tidak ditayangkannya paket tender secara teratur diduga disengaja untuk menguntungkan pihak tertentu atau merugikan negara, ini bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi, khususnya jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang atau penggelapan dana,” jelasnya.
“Terakhir kami berharap betul Pengawasan dan Audit oleh BPK atau BPKP Audit Khusus yaitu dengan melakukan audit khusus terhadap ULP Kabupaten Bantul yang tidak menayangkan tender secara teratur. Dari hasil audit tersebut bisa memunculkan rekomendasi sanksi administratif atau pidana jika ditemukan penyimpangan atau kerugian negara. Kemudian dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) jika ditemukan adanya pelanggaran. LHP BPK/BPKP nantinya bisa dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut dan menindak tegas oknum-oknum pejabat ULP Kabupaten Bantul yang terlibat,” tutupnya.
Sementara HR Area PT. Merak Jaya Beton yang ditemui awak media enggan berkomentar atas aksi tersebut, karena bukan kewenangannya.
Terpisah, Kepala ULP Kabupaten Bantul, Pambudi mengapresiasi atas aksi damai yang dilakukan AP2B, dan dia akan menampung apa yang menjadi aspirasi dari AP2B.
“Kami catat apa aspirasi dan tuntutan dari AP2B, untuk selanjutnya kami sampaikan pada pimpinan,” katanya.
Arifin/Ed. MN