“Prinsip bahwa suatu kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pejabat publik tidak dapat dipidana secara langsung tanpa unsur kesengajaan dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan hukum Indonesia, walaupun tidak ada pasal khusus yang secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan tidak dapat dipidana,” lanjutnya.
Prinsip ini umumnya didasarkan pada beberapa peraturan berikut:
- Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – Menyatakan bahwa pejabat administrasi negara tidak dapat dipidana atas tindakan administratif yang menjadi kewenangannya, kecuali jika terdapat penyalahgunaan wewenang yang disengaja atau dilakukan dengan niat jahat.
- Pasal 3 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Pasal-pasal ini mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang dalam konteks tindak pidana korupsi. Dalam konteks ini, penyalahgunaan wewenang bisa dipidana jika ada niat atau maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara.
- Asas Menyimpang dari Tujuan Wewenang (Detournement de Pouvoir) – Asas ini digunakan dalam hukum administrasi, yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dapat dipidana jika tindakan tersebut melanggar tujuan yang sebenarnya dari kewenangan yang diberikan.
“Dalam praktek, kebijakan pejabat publik dapat dipidana jika terbukti terdapat unsur mens rea (niat jahat atau kesengajaan) atau perbuatan melawan hukum. Jika tindakan atau keputusan diambil tanpa ada unsur kesengajaan untuk melakukan pelanggaran, maka tindakan tersebut umumnya dianggap sebagai bagian dari diskresi kebijakan yang diberikan oleh hukum dan tidak dipidana,” pungkas Musthafa.
Seperti diketahui, Kejagung menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait impor gula, yakni Tom Lembong dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
AR