Memang bukan hanya wartawan yang sudah memiliki sertifikat UKW saja bertanya tentang itu. Penyidik pun menjadikan daftar pertanyaan awal soal UKW.
Sebagai Ahli Pers yang diminta keterangan, saya selalu meminta penyidik memahami perintah UU dan peraturan Dewan Pers.
Jadi yang harus diutamakan diperiksa dan diteliti adalah syarat pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
- Apakah pemberitaan yang disengketakan produk jurnalistik dari perusahaan pers berbadan hukum Indonesia?
- Apakah perusahaan pers mencantumkan nama penanggung jawab dan alamat redaksi?
- Baru masuk pada materi perkara berita yang disoal:
A. Apakah terkait dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP Jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik);
B. Apakah terkait dugaan SARA sebagaimana diatur Pasal 154 dan atau 156a KUHP Jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE. - Penyidik meminta pendapat ahli pers apakah pokok materi masuk ranah UU Pers yang diselesaikan oleh Dewan Pers atau ranah KUHP.
Kembali ke soal Wartawan Damkar, yang menjadi pertanyaan, apa yang dilakukan adalah Hak Jawab atau Hak Koreksi.
Jelas menurut Pasal 5 ayat (2) UU Pers membantah karya jurnalistik media lain bukan Hak Jawab. Dia menjadi Hak Jawab bila ditujukan ke penanggung jawab.
Kalau pun Wartawan Damkar ingin melakukan Hak Koreksi, sesuai Pasal 5 ayat (3) UU Pers dilakukan pada pers yang memuat berita awal.
Cara lain, Wartawan Damkar dapat menjadi pemantau independen dengan memanfaatkan Pasal 17 UU Pers, mengenai peran serta masyarakat.
Dokumen laporan masyarakat terhadap pers yang melanggar dilaporkan bersama mahasiswa cukup banyak.
Persoalan ABH kerap dilaporkan sebagai pelanggaran Hak Anak ke Dewan Pers dengan menunjuk pada bagian mana terjadi pelanggaran dan apa yang dilanggar.
Rz/ed. MN