“Kasus ini banyak melibatkan tersangka menurut pengembangan pihak BNN. Bahkan ada DPO (Daftar Pencarian Orang). Sementara klien kita sudah lama mendekam di Lapas atas perkaranya. Komunikasi aja susah di Lapas itu, apa lagi cerita soal menggunakan Hp. Jaksa yang menangani perkara ini diduga Jaksa yang tidak pernah tahu Lapas itu bagimana. Ketat sekali peraturanya Bosku,” tegas Sandi.
Ahli Hukum Pidana dari Kampus UIR, Dr. Zulkarnain saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa soal terdakwa Andi bin Tiu Liam (Alm), yang didakwa dengan Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor: 35 Tahun 2009, pada prinsip pokoknya, persengkokolan atau permufakatan jahat, mensyaratkan harus terbangun komunikasi antara sesama pelaku, entah bahasa verbal atau isyarat. Intinya, terbangun komunikasi. Tanpa unsur tersebut, maka Pasal 132 tidak bisa diterapkan.
“Garis bawahi, ya!?” Tidak Bisa diterapkan Pasal 132,” ujar Dr. Zulkarnain.
Kemudian ia melanjutkan, bahwa pada jaringan peredaran gelap narkotika, unsur-unsur Pasal 132 mutlak harus terpenuhi. Sama dengan korupsi unsur-unsur kerja sama mutlak harus terpenuhi. Tanpa itu, jika dipaksakan, maka menjadi perkara main-main.
Percobaan permufakatan jahat pada Pasal 132, berarti ada yang memiliki ide, dan ide itu dibahas, dan pembahasannya bisa berupa pembagian tugas, dan pembagian hasil. Singkatnya, jaringan gelap yang berorientasi pada profit atau keuntungan.
Ada beberapa fase perencanaan dan pelaksanaan, dan untuk memuluskan perencanaan itu pasti ada pembahasan, yang berarti ada komunikasi.
Komunikasi jaringan peredaran gelap narkotika pasti tidak menggunakan alat sembarangan, karena mereka tidak ingin terdeteksi dan terpantau.
Namun pertanyaannya, jika sarana kerja sama tidak ada, komunikasi tidak ada. Bagaimana bisa menerapkan Pasal 132? Kapan permufakatan jahat dilakukan? Dengan cara apa kesepakatan itu?
“Jika memang tidak ada komunikasi, dan meyakinkan terjadi permufakatan hanya dengan asumsi, ini sangat berbahaya,” ia mengingatkan.
“Maka, unsur-unsur pada Pasal 132 menjadi mutlak harus terpenuhi seluruhnya, dan terbuka dengan jelas, jika vonis yang diinginkan hakim mempertimbangkan Pasal 132,” tegas ahli pidana UIR tersebut.
Sebagai contoh kecil, lanjut Dr. Zulkarnain, sering ditemukan sesama pecandu patungan beli sabu atau ganja untuk dikonsumsi bersama dan beratnya tidak signifikan apakah ini bisa dikenakan Pasal 132?
Pendapat pribadi saya, lanjutnya, sesama pecandu patungan beli narkoba untuk dikonsumsi bersama, tidak bisa dikenakan Pasal 132, sebab konteks Pasal 132 hanya bisa digunakan pada jaringan peredaran gelap narkotika, dan orientasinya profit. Dengan narkotika dalam jumlah besar, pembagian tugasnya jelas.
Jika model perkara seperti itu terpenuhi unsur, maka Pasal 132 berlaku, diterapkan Pasal 114 ayat (2) Jo 132 ayat (1) dan divonis seumur hidup atau mati.
“Tetapi jika tidak, bisa dibuktikan unsur-unsur Pasal 114 ayat (2) dan Pasal (132), dan hakim memvonis bebas. Itu lebih bermartabat, sebab tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada orang yang *_tidak bersalah_*,” tandas Dr. Zulkarnain.
Robert & Tim/ed. MN