Hal itu dinilai membuat lahan tidak efektif, yang akan berdampak pada harga jual menjadi lebih tinggi, sehingga memberatkan konsumen dan juga pengembang.
“Jika nanti Raperda diketok pada 5.000 m², maka 90 persen pengembang di Klaten akan kolaps, akan dimonopoli pengembang besar, dan kita pengembang warga lokal Klaten akan tersingkir. Jumlah pengembang yang tergabung dalam paguyuban ada 30 pengembang, terdiri beberapa kelas,” paparnya.
Sementara itu Ketua DPRD Kabupaten, Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo mengatakan bahwa Paguyuban Properti Klaten meminta audiensi karena mereka menilai ada beberapa hal dalam Raperda yang tidak bisa diaplikasikan. Mereka berharap ada beberapa pasal untuk dirubah.
Menurutnya ujung dari penyelenggaraan permukiman ada dua, yakni menyediakan perumahan hunian yang layak untuk masyarakat, dan semurah mungkin. Dengan adanya aturan luasan harus 5.000 m² ditakutkan justru membuang banyak luasan, akhirnya harga hunian akan lebih mahal.
“Intinya kami menggelar audiensi hasil dari kiriman surat dari rekan-rekan Paguyuban Properti Klaten yang resah terkait adanya Raperda Perumahan dan Kawasan Permukiman di mana ada beberapa substansi di dalamnya yang rawan mengancam keberlangsungan bisnisnya,” tutur Hamenang sat dikonfirmasi LimaSisiNews, Selasa (31/10/2023).
“Karena kalo aturan saklek di minimal, pengembang harus menyediakan lahan 5.000 meter maka disinyalir akan terjadi monopoli pada bisnis properti di klaten dan efeknya harga rumah akan melambung sehingga warga masyarakat rugi,” lanjutnya.
Arifin/ed. MN