Berdasarkan pantauan awak media LimaSisiNews di lokasi, ribuan masyarakat pun tampak antusias menyaksikan tradisi arak-arakan gunungan tersebut. Masyarakat yang datang bukan hanya dari wilayah Yogyakarta saja, tapi banyak juga yang datang dari luar wilayah Yogyakarta.
Mereka terlihat antusias berebut ubarampe berupa hasil bumi yang melingkar pada gunungan, yaitu kacang panjang, cabai merah, salak, duku, ubi, jambu dan lain sebagainya. Ada pula wajik, ketan, rengginang, kue bendul, juga telur asin.
“Saya baru pertama kali melihat gunungan ini. Ya, sama dengan masyarakat yang lain ingin ngalap berkah (dapat berkah) ikut rebutan ambil isian dari gunungan Syawal itu, Mas,” kata Parjiyo, salah satu warga dari Pengasih Kulonprogo.
Sementara itu KRT Rinta Iswara, selaku Penghageng II Kawedanan Nitya Budaya menjelaskan, bahwa istilah garebeg atau yang umumnya disebut grebeg berasal dari kata ‘gumrebeg‘ (bahasa Jawa) mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.
“Gunungan merupakan perwujudan kemakmuran Keraton atau pemberian dari raja kepada rakyatnya. Jadi, makna Garebeg Syawal secara singkatnya adalah perwujudan rasa syukur akan datangnya Idul Fitri, yang diwujudkan dengan memberikan rezeki pada masyarakat melalui ubarampe gunungan yang berupa hasil bumi dari tanah Mataram,” papar KRT Rinta Iswara.
Arifin/ed MN