Sehingga, masalah buruh di DIY menjadi pelik. Dani sebelumnya pernah menyampaikan, DIY kemungkinan di tahun 2030 akan menjadi kota tunawisma.
Pernyataannya itu sempat dipertanyakan oleh pemerintah DIY karena sebagai ketua serikat buruh, Dani dianggap pesimis.
Ada beragam faktor yang membuat Dani menganggap itu bakal terjadi. Pertama adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 DIY terendah nomor dua di Indonesia setelah Jawa Tengah. Tahun ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY menaikkan UMP sebesar 7,65 persen dibandingkan tahun lalu dari Rp1,84 juta menjadi Rp1,981 juta.
“Persoalan kedua,” ujar Dani, “ialah harga tanah yang mahal. Harga tanah di Jogja tertinggi ketiga setelah Bali dan Jakarta.”
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Remigius Edy Waluyo pernah menyampaikan bahwa dengan bertumbuhnya properti, hal ini juga mendorong naiknya harga tanah di Jogja. Bahkan, disebutkan, harga tanah disana sudah tidak masuk akal, demikian Dani mengutip pernyataan Ketua REI DIY.
Dani menerangkan bahwa inilah yang membuat orang Jogja yang punya rumah di usia 35 tahun ke atas bukan karena kerja di sana melainkan hasil warisan.
“Banyak sekali di Jogja seperti itu. Punya rumah karena warisan,” ujar Dani.
Pada tahun 2020, Dani mengecek data ke UGM (Universitas Gadjah Mada). Ditemukan, sebanyak 128 ribu keluarga yang tidak punya rumah di DIY.
“Itulah yang membuat saya harus memperjuangkan nasib buruh, walau tidak ada duitnya. Jadi, berkali-kali kita membela buruh, menang kasusnya, ya, sudah,” tandasnya.
Kalau pun buruh itu datang ke basecamp atau ke rumahnya membawa gula dan kopi, itu bukan karena Dani dan kawan-kawan memintanya. Akan tetapi, memang dari keinginan buruh itu sendiri.
“Karena itu saya akan terus berjuang untuk buruh,” pungkasnya.
Arifin/ed. MN