“Biasanya di sini terjadi perbedaan pendapat,” kata H Kamsul.
Ombudsman salah satu media ini mengatakan hal serupa mungkin terjadi juga pada perusahaan pers lain. Pemberitaan tidak berimbang karena media siber memanfaatkan butir 2 Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) Dewan Pers.
Pada intinya, karena perusahaan pers siber memerlukan kecepatan sehingga keberimbangan tidak hadir dalam satu frame pemberitaan seperti pada era media cetak.
“Saat itu pihak sumber yang dirugikan tetap kekeuh tidak mengakui adanya PPMS. Mereka tetap ingin Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ (Kode Etik Jurnalistik) diterapkan dalam pemberitaan. Itu artinya versi online atau cetak sama saja, harus memberitakan secara berimbang dan menguji informasi. Alasannya, karena KEJ masih berlaku dan belum direvisi,” ungkapnya
Ketua Bidang Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini menambahkan bahwa saat itu sumber yang dirugikan mengatakan wartawan harus memiliki dan mematuhi KEJ sesuai Pasal 7 ayat (2) UU Pers. PPMS bukan perintah undang-undang tapi sekedar pedoman.
“Ini baru pada era digital karena KEJ masih berorientasi pada media cetak yang deadline panjang. Sementara PPMS dinilai berlaku internal sebagai pedoman,” tutup H. Kamsul Sarjana Jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.
Robert Nainggolan, Frn/MN